foto

                  Oleh: Asep Sutisna

Pemerhati Kebijakan Publik & Etika Pemerintahan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua, Hadirin yang saya hormati, para tokoh masyarakat, akademisi, dan rekan-rekan media. Hari ini, kita berkumpul bukan sekadar untuk berbicara tentang satu BUMD, tetapi tentang masa depan tata kelola pemerintahan daerah.

Tentang supremasi hukum, tentang perintah Perda yang seharusnya menjadi kompas moral, politik, dan administratif, namun justru terabaikan.

1. KONTEKS PERDA NO. 11 DAN PERDA NO. 13 TAHUN 2022

Kedua Peraturan Daerah ini bukan sekadar regulasi. Ia adalah fondasi hukum yang mengatur: struktur kelembagaan BUMD, prinsip pengelolaan aset daerah, tata kelola korporasi daerah yang harus memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalitas, dan kebermanfaatan publik.

Perda 11 dan 13 adalah janji pemerintah kepada rakyat bahwa BUMD tidak boleh menjadi sumber risiko fiskal, tidak boleh menciptakan moral hazard, dan tidak boleh menjadi arena pembiaran tata kelola. Namun realitas yang terjadi dalam kasus PT. Bandung Daya Sentosa justru menunjukkan indikasi kuat gagalnya implementasi regulasi tersebut, baik dalam pengawasan internal pemerintah daerah maupun eksekusi manajerial perusahaan.

2. ISU UTAMA: LAMBANNYA PENEGAKAN HUKUM

Hadirin sekalian, Kami menyampaikan dengan sangat tegas namun elegan: penegakan hukum terhadap dugaan penyimpangan dalam PT BDS berjalan terlalu lambat. Lambat bukan hanya dalam arti administratif—tetapi lambat dalam konteks: perlindungan hukum bagi para vendor, pemulihan kerugian masyarakat dan pihak ketiga, kepastian hukum bagi pemerintah daerah sendiri.

Kita tidak menuduh siapa pun secara personal. Namun kita menyoroti fungsi sistem, bukan individunya. Jika laporan, audit, klarifikasi, dan penyelidikan memakan waktu terlalu panjang, publik berhak bertanya: “Apakah hukum berjalan, ataukah sedang dibuat berjalan lambat?” Dalam negara demokratis, pertanyaan semacam ini bukan tuduhan—tetapi proses kritik publik yang dilindungi UUD 1945.

3. DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI: PARA VENDOR TERLUKA

Mari kita jujur. Di balik nama besar “BUMD” ada manusia—para vendor, penyedia jasa, UMKM, dan pekerja yang mengalami kerugian. Mereka mengalami: arus kas yang terhenti, proyek yang tidak dibayar, beban pinjaman yang meningkat, reputasi bisnis yang rusak. Mereka tidak menuntut sesuatu yang berlebihan. Mereka hanya meminta hak. Dan negara—melalui Pemkab, DPRD, dan aparat penegak hukum—berkewajiban menghadirkan keadilan itu.

4. DESAKAN REFORMASI TATA KELOLA PT BDS (PERSERODA)

Kami mengusulkan langkah perbaikan yang bersifat legalistik, sistemik, dan tidak bersifat personal, antara lain: Audit Forensik Independen berdasarkan amanat Perda. Evaluasi total organ perusahaan—Direksi, Komisaris, dan pemegang saham pengendali daerah. Pembentukan Tim Pengawasan Khusus DPRD dan Inspektorat.

Kewajiban Pemkab melakukan open disclosure terhadap dokumen publik sesuai UU KIP. Review risiko fiskal untuk mencegah pembebanan APBD akibat tata kelola buruk. Percepatan proses penegakan hukum oleh Polda Jabar dan Kejari agar tidak berlarut-larut. Moratorium kebijakan bisnis BDS sampai governance direstorasi.

Langkah-langkah ini bukan tindakan politik. Ini adalah kewajiban konstitusional dan administratif pemerintah daerah.

5. PESAN MORAL DAN ETIKA PUBLIK

Kita semua memahami bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan sekadar administrasi kekuasaan. Keberkahan dalam pemerintahan lahir ketika kebijakan ditegakkan dengan jujur, ketika BUMD dikelola dengan benar, ketika penegakan hukum dilakukan tanpa kompromi.

Saya ingin menegaskan kalimat penting: “Kita tidak menuntut pemimpin yang sempurna, kita hanya menuntut sistem yang bekerja.” Jika sistem bekerja, rakyat terlindungi. Jika sistem gagal, maka siapapun yang memimpin akan jatuh dalam lingkar moral hazard tanpa disadari.

6. AJAKAN UNTUK DPRD DAN PEMKAB BANDUNG

Kami mengajak DPRD Kabupaten Bandung sebagai lembaga pengawasan, dan Pemkab sebagai pemegang saham pengendali, untuk menempatkan isu PT BDS ini sebagai prioritas daerah. Isu ini bukan abu-abu. Isu ini hitam-putih: apakah hukum bekerja, apakah tata kelola berjalan, apakah janji pemerintah kepada rakyat ditepati.

Dengan kewenangan Perda 11 dan 13 Tahun 2022, BUMD seharusnya menjadi kekuatan ekonomi daerah, bukan sumber masalah fiskal dan ketidakpastian hukum.

PENUTUP

Mari kita jadikan forum ini sebagai momentum memperkuat tata kelola, bukan memperlemah kepercayaan publik. Kita membela sistem, bukan menyerang individu. Kita menegakkan hukum, bukan menciptakan konflik.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bagikan melalui