Politik
Aliansi Kabupaten Bandung Desak DPRD Tinjau Perda dan Pansuskan BDS
- Jumat, 10 Oktober 2025 | 09:41 WIB
                        Oleh: Jaka Permana, SE
MEDIAKASASI | PUBLIK Kabupaten Bandung kembali dikejutkan oleh pemberangkatan relawan BEDAS dari 31 kecamatan yang mencapai sekitar 1.400 orang, bergabung dengan unsur Pemuda Pancasila (PP) baik dari MPC maupun PAC se-Kabupaten Bandung sebanyak 120 orang, menuju Kabupaten Pangandaran.
Informasi lapangan menyebutkan bahwa kegiatan ini turut dihadiri oleh Bupati Bandung, H. Cucun, dan H. Rommy, dua tokoh politik yang memiliki pengaruh kuat di wilayah Kabupaten Bandung.
Secara normatif, konsolidasi organisasi relawan atau ormas merupakan hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi. Namun, setiap kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar harus dijalankan dengan asas transparansi dan akuntabilitas publik, terlebih jika muncul kabar mengenai pengumpulan data pribadi berupa KTP dari para peserta yang diberangkatkan.
Kabar tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar di tengah masyarakat: Apakah kegiatan ini benar-benar murni bersifat sosial dan konsolidatif, atau justru memiliki muatan politik tertentu yang dibungkus dalam kemasan kegiatan relawan?
Dalam demokrasi yang sehat, partisipasi warga negara seharusnya lahir dari kesadaran individu, bukan hasil mobilisasi yang disertai tekanan, janji, atau kepentingan politik.
Karena itu, pemerintah daerah dan penyelenggara kegiatan memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik mengenai tujuan, sumber pendanaan, serta mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.
Kritisisme publik kian tajam karena momentum kegiatan ini berbarengan dengan mencuatnya sejumlah kasus hukum di Kabupaten Bandung. Mulai dari kasus Bank Kertaraharja yang menyeret nama sejumlah pejabat daerah, hingga kasus PT Bandung Daya Sentosa (BDS) yang hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti terkait penetapan tersangka.
Belum lagi kasus Pasar Banjaran, yang disebut memiliki barang bukti berupa kendaraan dan uang bernilai miliaran rupiah, namun berakhir dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Rangkaian peristiwa tersebut menimbulkan kesan bahwa penegakan hukum di Kabupaten Bandung belum sepenuhnya berjalan secara adil dan transparan, bahkan dikhawatirkan mengalami intervensi kepentingan.
Padahal, sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi asas equality before the law — bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Bila prinsip itu mulai diragukan masyarakat, maka kepercayaan terhadap lembaga hukum dan legitimasi pemerintahan pun akan ikut tergerus. Situasi ini menjadi peringatan penting bagi para pemangku kebijakan di Kabupaten Bandung, baik dari unsur eksekutif, legislatif, maupun penegak hukum.
Keterbukaan informasi, kejelasan proses hukum, serta tanggung jawab moral dalam setiap kegiatan publik harus menjadi komitmen bersama. Tanpa itu, demokrasi lokal hanya akan menjadi panggung mobilisasi, bukan arena partisipasi yang autentik.
Lebih dari sekadar urusan politik, hal ini menyangkut integritas sistem demokrasi lokal. Demokrasi hanya akan hidup jika ada keseimbangan antara kebebasan partisipasi masyarakat dan tanggung jawab moral para pemimpin untuk menjaga kepercayaan rakyatnya.
Rakyat Kabupaten Bandung berhak atas pemerintahan yang bersih, jujur, dan berkeadilan. Dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan keberanian bersama seperti birokrat, aktivis, media, dan masyarakat sipil untuk terus mengawal tegaknya keadilan, transparansi, dan supremasi hukum di tanah Bandung yang kita cintai.***
Penulis adalah Aktivis AMKB/Pengamat Kebijakan Publik
Bagikan melalui