foto

Akademisi Sepakat Penghapusan Tunjangan Pensiun Anggota DPR RI adalah pemborosan pajak rakyat di tengah efisiensi anggaran negara dan sulitnya rakyat dapat pekerjaan

MEDIAKASASI | JAKARTA-- Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah, menyatakan sepakat terhadap penghapusan tunjangan pensiun anggota DPR RI.

Ia menyebut pemberian uang pensiun anggota DPR sebagai pemborosan pajak rakyat, terutama di tengah keharusan penghematan anggaran negara dan kesulitan pekerjaan di masyarakat.

Tidak adil anggota DPR RI dengan kerja lima tahun bisa mendapatkan pensiun seumur hidup.

"Negara sedang berhemat dan rakyat bahkan kesulitan memperoleh pekerjaan layak. Tidak adil apabila hasil pungutan pajak hanya digunakan untuk hal tidak produktif menghidupi mantan anggota DPR RI yang hanya menjabat lima tahun", kata Insan seperti yang dilansir Tirto, Sabtu (04/10/2025).

Insan juga menyoroti soal perlu adanya evaluasi besar-besaran soal hak keuangan pejabat negara. Di samping DPR RI, ada juga Direktur dan Komisaris BUMN, Staf Ahli dan Staf Khusus, serta Utusan Khusus hingga Tenaga Ahli.

"Kita tahu bahwa banyak sekali beban APBN seperti gaji para utusan khusus, direktur maupun komisaris BUMN aktif yang hak keuangannya bisa mencapai sepuluh hingga dua puluh lima kali UMP masyarakat. Belum lagi, Tenaga Ahli, Staf Ahli dan Staf Khusus para pejabat yang kadang hanya merupakan bentuk balas budi politik tanpa urgensi nyata", lanjut Insan.

Hal senada disampaikan Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Erik Ardiyanto. Dia mengatakan, skema dana pensiun anggota DPR RI tidak adil, tidak efisien, dan menjadi beban anggaran negara secara jangka panjang.

"Di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi dan reformasi birokrasi, skema pensiun seumur hidup bagi anggota legislatif justru menunjukkan ketimpangan dan privilege yang berlebihan", Kata Erik.

Ia menggarisbawahi soal tunjangan seumur hidup DPR RI dengan masa jabatan lima tahun atau dua periode. Sementara jutaan pekerja di sektor lain harus bekerja puluhan tahun untuk mendapatkan jaminan hari tua yang layak.

Menurutnya, hak pensiun anggota DPR RI di kondisi ekonomi saat ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kepantasan. Di satu sisi anggota DPR RI cukup menjabat lima tahun saja untuk dapat pensiun, namun masyarakat profesi lain harus mengangsur dana pensiun dengan periode kerja yang panjang.

“Anggota DPR RI sebagai wakil rakyat seharusnya menjadi contoh dalam penghematan anggaran ini dengan mengevaluasi kembali hak-hak istimewa dan hak keuangan yang mereka dapatkan di tengah kondisi rakyat yang sulit,” tutur Erik.

Ini bukan soal besarannya saja, tetapi juga asas keadilan dan kepantasan. DPR RI disebut seharusnya menjadi teladan dalam reformasi sistem pensiun, bukan mempertahankan privilese.

Untuk diketahui, Psikolog, Lita Linggayani Gading, bersama advokat bernama Syamsul Jahidin menggugat aturan jatah pensiun bagi anggota DPR RI. Mereka meminta kepada majelis hakim untuk menghapus hak pensiun yang diterima oleh para anggota DPR.

Gugatan mereka teregister dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025.

Pemohon mengajukan gugatan terhadap Pasal 1 a, Pasal 1 f, dan Pasal 12 UU Nomor 12/1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Sumber : Tirto

Bagikan melalui