foto

Jakarta - Pemerintahan jokowi sejak 2015 - 2019 telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk program Perhutanan Sosial yang merupakan program prioritas pemerintah Program Strategi Nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 56 tahun 2018.

Program ini ditujukan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkaan kesejahteraan masyarakat juga untuk mengurangi konflik lahan dan kedepannya bisa membantu mengatasi kemiskinan dengan harapan dapat mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat dan menimbulkan kesadaran untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan.

Hingga Juni 2019, tercatat perhutanan sosial yang telah diakses oleh masyarakat mencapai 3,4 juta hektar dengan melibatkan lebih dari 755 ribu Kepala Keluarga (KK) atau telah memberi manfaat kepada kurang lebih 3 juta jiwa.

Capaian akses Perhutanan Sosial tersebut baru sekitar 25 persen dari total target nasional dan terbilang cukup lambat. Lambatnya pencapaian target tersebut cukup disayangkan di tengah antusiasme masyarakat yang tinggi dengan program tersebut. Dalam usaha menguatkan pengelolaan perhutanan sosial di indonesia, kami yang berasal dari 51 Kelompok Tani Hutan (KTH) pengelola perhutanan sosial yang tersebar di 17 provinsi bersepakat untuk berkumpul dan membentuk satu wadah bersama dengan nama Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI).

Hingga saat ini, anggota kelompok pengelola perhutanan sosial yang tergabung dalam AP2SI telah mengakses atau menerima izin perhutanan sosial seluas 165.468,15 Ha dengan 59.285 KK sebagai pemanfaat dengan beragam produk unggulan mulai dari; Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), agroforestry, jasa lingkungan, hingga wisata alam.

Organisasi ini memiliki tujuan sebagai wadah perjuangan dan pertukaran gagasan antar sesama pengelola perhutanan sosial di tingkat tapak. Dari hasil pertemuan nasional Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), WALHI melihat ada tujuh  kendala pokok yang secara umum dihadapi oleh kelompok pengelola perhutanan sosial:

1.Dukungan politik dari Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah (Prov – Kab/Kota) terhadap Program Perhutanan Sosial belum maksimal;

2.Layanan birokrasi dalam menunjang jalannya Perhutanan sosial (pengetahuan dan pendampingan) belum maksimal;

3.Terkendalanya Penyusunan dan Pelaksanaan dari Rencana Pengelolaan dan Rencana Kerja; 

 4.Kepastian atas batas area kerja; 

5. Minimnya alat produksi serta Sarana Prasarana (Komunikasi dan Transportasi) untuk menunjang jalannya perhutanan sosial ;

6.Kurangnya akses dan dukungan untuk modal pembiayaan terhadap pengelolaan perhutanan sosial oleh Kementerian dan Lembaga;

7.Masih minimnya kapasitas untuk pengembangan inovasi produk dan pasar terhadap hasil hutan dan jasa lingkungan.

Program Perhutanan Sosial yang berjalan sudah cukup baik, akan tetapi tidak boleh berhenti pada pemberian akses (izin kelola). WALHI melihat perlu ada kolaborasi kerja bersama yang sinergis antara pengelola Perhutanan Sosial dengan pemerintah pusat maupun daerah.

Sehingga masalah-masalah di atas dapat diatasi untuk mewujudkan visi Perhutanan Sosial “Rakyat Sejahtera, Hutan Lestari”.

Untuk mewujudkan visi tersebut, program Perhutanan Sosial harus memiliki sistem kelola yang partisipatif dan integratif dalam skema Wilayah Kelola Rakyat meliputi tata kuasa (pemberian akses), tata kelola (perencanaan dan pemanfaatan), tata produksi (hasil pemanfaatan) dan tata konsumsi (pengunaan dari hasil kelola dan produksi).   (Sumber WALHI)