Ragam
YPPKP Berqurban 'Berbagi Berkarya Peduli'
- Senin, 17 Juni 2024 | 13:41 WIB
| Sabtu, 1 Mei 2021 | 11:18 WIB
Hadiah lebaran bagi buruh semula diberikan sukarela dengan besaran beragam. SOBSI berjuang agar hadiah lebaran diwajibkan.
Dinamika Gerakan Buruh Era 1950-an Perjuangkan Kewajiban THR
Penulis Appridzani Syahfrullah
Setelah menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Indonesia dihadapkan dengan banyak persoalan. Salah satu poin dari KMB mengharuskan Pemerintah Indonesia menjamin keberlangsungan operasi perusahaan-perusahaan Belanda. Klausul ini tentu saja juga berimbas langsung pada kehidupan buruh.
Usai remuk dilanda Revolusi 1945-1949, Perusahaan-perusahaan Belanda mulai fokus memperbaiki kinerja keuangannya. Manajemen pabrik-pabrik di Surabaya, misalnya, mengutamakan perbaikan fasilitas produksinya. Sebagai konsekuensi atas prioritas itu, manajemen pun memilih mengurangi jumlah pekerja demi efisiensi pengeluaran perusahaan.
Koran Antara (18 November 1950) mewartakan, Surabaya mengalami krisis ekonomi yang buruk selama pertengahan 1950. Krisis itu pun memicu terjadinya massa-ontslag atau pemecatan buruh secara masif—terutama para buruh yang bekerja di perusahaan Belanda.
Kaum buruh segera merespons badai pemecatan itu dengan merapatkan barisan dan menggalang dukungan. Antara (1 September 1950) menyebut, 81 perwakilan serikat buruh yang terafiliasi dengan Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) Komisariat Surabaya merumuskan sebuah resolusi bersama. Poin pentingnya yaitu mendesak pemerintah segera menasionalisasi perusahaan yang mengalami defisit keuangan.
Tak hanya itu, perwakilan buruh juga mendorong pemerintah untuk mengesahkan regulasi hukum yang tegas menyoal masalah perburuhan.
Krisis ekonomi tentu saja tak hanya terjadi di Surabaya, tapi juga di seluruh Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, buruh tak hanya berhadapan dengan risiko pemecatan, tapi juga beban meroketnya harga kebutuhan pokok.
Everett Hawkins, dalam artikelnya "Labour in Developing Economics" (1962), menggambarkan kesulitan yang dialami para buruh pada dekade 1950-an sebagai berikut.
“[...] Bukan hanya upah yang rendah, tapi juga harga 19 bahan pokok di Jakarta naik dari tingkat awal 100 persen pada 1953 menjadi 177 persen pada 1957, dan kemudian naik makin cepat, dari 258 pada 1958 menjadi 325 pada akhir 1959.”
Kondisi macam itu makin memberatkan bagi buruh dan keluarganya pada masa-masa menjelang lebaran. Di periode itu, harga kebutuhan pokok yang sudah tinggi menjadi makin tinggi lagi.
Hadiah Lebaran
Dihadapkan pada krisis dan tingginya harga kebutuhan pokok itu, aktivis buruh pun meninjau kembali tuntutan-tuntutannya. Isu nasionalisasi yang semula digaungkan lalu dianggap tidak rasional untuk untuk diterapkan saat itu. SOBSI lalu mengubah kampanyenya menjadi tuntutan “hadiah lebaran” atau sekarang kita kenal sebagai tunjangan hari raya (THR).
“THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia,” papar Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015).
Jafar juga menyebut, SOBSI adalah organisasi buruh yang sangat aktif memperjuangkan THR bagi buruh.
Kampanye SOBSI itu menuai banyak dukungan. Merujuk pada surat kabar Harian Umum (4 Juli 1950), SOBSI menerima berlimpah sokongan dari berbagai elemen.
“Sentral Bureau SOBSI telah menerima pernjataan solider dari PNI, PSII, PKI, Parkindo, BTI, Gerwis dan Persatuan Pensiunan berkenaan dengan tuntutan SOBSI mengenai hadiah lebaran”.
Melihat maraknya dukungan yang datang, membuat anggota-anggota SOBSI lebih percaya diri. Kondisi ekonomi yang sedang paceklik ditambah dengan naiknya harga kebutuhan pokok menjelang hari raya Idulfitri membuat ikatan solidaritas untuk menuntut hadiah lebaran mudah terbangun.
Meski begitu, perjuangan buruh tidak serta-merta tercapai begitu saja. "Apa yang terjadi muncul perlahan dan bertahap, sesuai dengan desakan tuntutan gerakan buruh dan kehati-hatian politik pemerintah dalam menghadapi kekuatan sosial gerakan buruh,” tulis Jafar.
Buruh Menolak Persekot
Meski kala itu hadiah lebaran sudah menjadi semacam isu populer di kalangan organ buruh, belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut status hadiah lebaran—baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal besarannya.
Hal ini membuat berbagai organ buruh mengajukan tuntutannya sendiri-sendiri. Salah satu contohnya adalah upaya yang dilakukan Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Cabang Surabaya pada Juli 1950.
Menurut pemberitaan Harian Umum (13 Juli 1950), SBKA Cabang Surabaya menerbitkan resolusi yang ditujukan kepada Djawatan Kereta Api (DKA). Resolusi itu dikeluarkan karena sikap DKA yang tidak konsisten terkait kebijakan besaran jumlah hadiah lebaran.
Para buruh yang tersentral di dalam Stasiun Kota Surabaya (populer dengan sebutan Stasiun Semut) mengancam akan melancarkan aksi mogok besar apabila DKA tidak merespon tuntutan buruh dalam tempo 2x24 jam terhitung sejak 12 Juli 1950.
Pihak DKA pun mencari jalan keluar untuk mencegah terjadinya pemogokan. DKA bersedia menyediakan dana persekot sebesar 50 persen gaji yang harus dikembalikan dengan cara diangsur. Tawaran itu ditolak oleh buruh SBKA dan pemogokan tetap dilakukan.
Peristiwa itu rupanya bukan hanya peristiwa lokal di Surabaya saja. Pemogokan dengan tuntutan serupa juga terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Pasalnya, tuntutan hadiah lebaran merupakan hasil Kongres Ke-4 SBKA yang diadakan di Semarang beberapa bulan sebelum Ramadan 1950.
Menurut laporan Harian Umum (8 Juli 1950), SBKA menilai bahwa hadiah lebaran harus diberikan secara cuma-cuma tanpa embel-embel pinjaman berupa persekot. Hadiah lebaran harus berada di luar gaji bulanan yang para buruh terima. Bisa dikatakan, ini adalah permulaan ide bahwa hadiah lebaran akan menjadi gaji ke-13 untuk buruh.
Menurut catatan majalah Tindjauan Masalah Perburuhan (No. 6/7/8 1952), Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) melaporkan bahwa kuantitas persengketaan buruh-perusahaan yang disebabkan masalah hadiah lebaran menduduki peringkat tertinggi kedua setelah persoalan upah.
Sepanjang periode 1951 hingga 1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Idulfitri.
Besaran Hadiah
Lebaran Selain soal status hadiah lebaran, tarik ulur antara buruh dan perusahaan juga disebabkan oleh ketidakcocokan besaran nilai hadiah lebaran. Buruh tentunya menginginkan besaran hadiah lebaran yang sesuai dengan realitas kebutuhan buruh.
Diawal 1950-an, jumlah besaran hadiah lebaran beragam tergantung perusahaan. Koran Nasional (14 Juli 1950) menyebut, kaum buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Listrik dan Gas (SBLG) mendapatkan hadiah lebaran sebanyak dua bulan gaji pokok. Hadiah lebaran itu diberikan kepada buruh tetap dengan masa kerja minimal satu tahun.
Sementara itu, para buruh harian dengan masa kerja minimal setahun mendapat sebanyak satu bulan gaji pokok. Lalu, para buruh yang bekerja kurang dari satu tahun akan mendapat hadiah lebaran minimal 25 persen gaji pokok.
Keberhasilan-keberhasilan kecil organisasi buruh yang terafiliasi dengan SOBSI dalam memperjuangkan hadiah lebaran itu mengundang perhatian pengurus pusat SOBSI. SOBSI lalu menjadikan isu ini sebagai perjuangan dasar kaum buruh dengan cakupan lebih luas.
Dalam Sidang Dewan Nasional Ke-2 pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” Menurut Arsip SOBSI No. 39 yang bisa diakses di Arsip Nasional Republik Indonesia, SOBSI kembali memasukkan persoalan hadiah lebaran dalam agenda Kongres ke-2 SOBSI yang akan diadakan pada 1955.
Dengan begitu, SOBSI menjadi organisasi buruh pertama yang merumuskan besaran hadiah lebaran untuk buruh. SOBSI juga mendorong pemerintah untuk melembagakan hadiah lebaran itu.
Senada dengan itu, Jafar Suryomenggolo juga mencatat bahwa P4P merekomendasikan besaran hadiah lebaran untuk buruh dengan rumusan sebagai berikut.
“Yang tidak beristri berhak mendapat satu bulan gaji pokok dengan minimal Rp175 dan maksimal Rp650; Yang sudah beristri berhak mendapat 1¼ gaji pokok sebulan dengan minimal Rp250 dan maksimal Rp650; Mereka yang telah bekerja sejak 6 Juli 1951: 0–3 bulan diberikan ¼ dari jumlah perincian di atas, 3–6 bulan diberikan ½ dari jumlah perincian di atas, 6–12 bulan diberikan ¾ dari jumlah perincian di atas.”
Titik cerah makin terlihat pada era Menteri Perburuhan Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962) Ahem Erningpraja. Meski besarannya belum sebulan gaji kotor sebagaimana yang dituntut SOBSI, hadiah lebaran kini wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961 yang dikeluarkan oleh Ahem.
“Peraturan-peraturan (yang muncul di masa Ahem Erningpraja yang nasionalis itu jadi Menteri) itu merupakan langkah besar dalam perjuangan serikat buruh,” tulis Jafar.
Di era kiwari, hadiah lebaran itu kita kenal sebagai THR dan dapat dinikmati setiap elemen pekerja di seluruh Indonesia. Maka tak bisa dipungkir bahwa THR adalah warisan sejarah perjuangan kaum buruh era 1950-an.
Bagikan melalui