foto

Direktur Jamparing Institut, Dadang Risdal Azis/Istimewa

Mediakasasi.com, KAB BANDUNG -- Kasus dugaan pungutan liar (pungli) di sekolah Kabupaten Bandung masih muncul seiring maraknya informasi dari media sosial maupun pegiat pendidikan.

Terbaru, salah satu SMP Swasta KP Margahayu di Kabupaten Bandung, diduga melakukan pungli dari dana PIP setelah ada pengaduan dari orang tua siswa yang merasa keberatan akibat oknum Bendahara Sekolah dengan inisial "D"

Dugaan pungli dana PIP itu bervareatif tergantung tunggakan para siswa selama sekolah di SMP KP Margahayu.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jamparing Institut, Dadang Risdal Azis menjelaskan, perkara pungli di sekolah memiliki substansi yang sama.

“Sama saja. Pihak sekolah swasta maupun negeri yang terbukti menarik pungli kepada wali murid, apalagi disertai unsur paksaan tentu bisa dijerat Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),” ujar Dadang Risdal ketika dihubungi mediakasasi.com, Kamis (4/5/2023).

Dia menjelaskan, dalam persoalan pungli ini, pihak sekolah bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor).

“Penyelenggara pendidikan yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, bisa kena itu oknum," ujarnya.

Oknum tersebut itu bisa dipidana dengan pidana atau Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Ditanya akankah pihak sekolah bisa dijerat pasal di UU Tipikor meski pungli itu hasil inisiasi komite sekolah, Dadang menjawab, tetap bisa.

“Itu modus lama. Mereka mengatasnamakan atau bekerja sama dengan komite sekolah,” terangnya.

“Suatu perbuatan yang dilarang peraturan perundang-undangan, seperti pungli , tetap terlarang ya, meskipun disetujui atau bahkan diprakarsai komite sekolah,” lanjutnya.

Ia menegaskan, selama pungli itu melibatkan orang/manusia, maka mereka tetap bisa dijerat UU Tipikor. Bahkan, kalau melibatkan ASN tidak hanya dijerat UU Tipikor, tapi juga pasal penyertaan, yakni pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan,” bunyi pasal 55 KUHP.

Dadang Risdal menekankan, segala macam bentuk pungutan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah pungutan liar.

“Perbuatan tersebut bisa kena pasal pemerasan dalam jabatan, selama unsurnya yang sesuai dengan UU Tipikor bisa terpenuhi,” tegasnya.

Lantas, apa yang membedakan antara pungutan dan sumbangan?

Beberapa waktu lalu, mediakasasi.com sempat berbincang dengan penggiat Pendidikan Jaringan Informasi Terpadu, Ari Nugraha terkait pungutan dan sumbangan.

Ari menjelaskan, pungutan adalah sebuah terminologi hukum.

Artinya, pungutan harus memililki dasar hukum, termasuk mengenai tarif dan siapa yang berwenang untuk melakukan pungutan.

“Pungutan ada aturannya, biar tidak ada pungli. Aturannya pun setara perda hingga PP, tidak boleh dibawah itu. Misalnya, kalau saya tiba-tiba mungut parkir di pinggir jalan, itu namanya pungli karena saya bukan petugas yang diberi kewenangan,” tegas dia.

Menurutnya, setiap sekolah wajib memahami perbedaan pungutan dan sumbangan.

“Kalau sumbangan itu kan sifatnya kesediaan ya, yang menggambarkan kesukarelaan, bukan kesanggupan atau kemampuan,” terangnya.

Apabila sekolah ingin menggalang dana, maka sifatnya harus berupa sumbangan, tidak boleh pungutan.

Hal tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Dalam pasal 10 ayat 2, sudah tertulis bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Juga, dalam pasal 12b, komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang untuk melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.

“Kebanyakan masih pakai istilah kesanggupan. Kalau kesanggupan atau kemampuan, bisa disebut paksaan secara halus. Nanti ada label-label di situ, misal ‘masa iya kerjanya pakai mobil, nyumbang segitu tidak sanggup’,” beber Ari Nugraha.

Dia menilai, sumbangan tidak berkaitan dengan kesanggupan maupun kemampuan, tetapi tentang kesediaan.

Bisa saja, orang tua atau wali murid belum bersedia menyumbang, karena dananya terbatas, ada prioritas lain atau tidak yakin, uang yang dia berikan ke sekolah bakal dibuat untuk apa. (Red)